Pola Asuh

on Rabu, 04 Maret 2009

Pola Asuh
Karakteristik individual memengaruhi cara orang dewasa mengasuh anak-anak mereka, khususnya yang berhubungan dengan disiplin. Orangtua berusaha keras mengajarkan kepada anak-anak apa yang mereka perlu ketahui dan kerjakan agar menjadi orang yang bahagia, percaya diri, dan bertanggung jawab di masyarakat.
Akan tetapi, tidak hanya orangtua yang bertu-gas menjalankan pen-didikan. Anak-anak juga mengajarkan kepada orangtua bagaimana harus bersikap di hadapan anak-anak dan memengaruhi disiplin orangtua. Kebanyakan orang (anak-anak dan orangtua) cenderung meng-ambil sikap dengan cava-cava yang akan meningkatkan manfaat dan mengurangi konsekuensi negatif. Suatu sikap yang dianggap cukup "berhasil" cenderung untuk diulangi lagi. Akan tetapi, jika perilaku tertentu menghasilkan konsekuensi yang kurang
menyenangkan (artinya tidak berhasil), hal tersebut cenderung untuk tidak diulangi lagi.
Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai berhasil-tidaknya cara yang dilakukan. Apa yang dianggap berhasil bagi Kiki bisa jadi tidak terlihat demikian bagi Keke. Contohnya, ketika seorang anak bertindak kurang pada tempatnya akan terlihat negatif. Kira-kira siapa orangnya yang mau diomeli? Meskipun demikian, seorang anak yang merasa diabaikan bisa merasa puas menerima segala bentuk perhatian, bahkan jika perhatian tersebut kurang menyenangkan.
Pada umumnya, orangtua mengajari anak-anak mereka dengan empat cara:

1. Memberi contoh.
Cara utama untuk mengajari anak-anak adalah melalui contoh. Anak-anak kecil sering kali mudah menyerap apa yang kita takukan dibandingkan dengan apa yang kita katakan. Jika kita mengatakan kepada anak-anak untuk berbicara dengan sopan kepada orang lain, tetapi kita masih berbicara kasar kepada mereka, kita telah menyangkal diri kita sendiri. Perbuatan lebih berpengaruh dibandingkan dengan kata-kata.
2. Respons positif.
Cara kedua untuk mengajari anak-anak adalah melalui respons positif mengenai sikap mereka. Jika kita mengatakan kepada anak-anak betapa kita menghargai mereka karena telah menuruti nasihat kita, mereka akan mengulangi sikap tersebut.
Bagaimanapun, kita harus berhati-hati dengan respons. Kadang-kadang, respons itu sendiri tidaklah positif, tetapi mengarah pada dampak yang positif bagi anak. Contoh, seorang ibu meminta anaknya untuk membereskan alat pencuci piring. Anak tersebut diam saja. Ibu tersebut mengulangi
permintaannya. Anak tersebut terus menolak dan mulai marah. Jika ibu tersebut lelah, dia bisa berhenti meminta dan mengerjakan pekerjaan itu sendiri demi kedamaian. Respons ini memberikan pelajaran bagi anak bahwa menolak dengan terus-menerus ternyata berhasil.
Pada sisi lain, situasi ini bisa dianggap berhasil bagi orangtua. Ya, pada akhirnya, ibu tersebut mengerjakan tugas yang sebenarnya dia mintai kepada anaknya dan merasa jengkel karenanya, tetapi paling tidak teriakan-teriakan telah berhenti. Dengan kata lain, dampak negatifnya menjadi ber -kurang jika si ibu mengerjakan pekerjaannya sendiri dibandingkan harus menghadapi sikap kurang menyenangkan anaknya.
Sayangnya, ketika anak menghindari ketidaknyamanan sementara, anak tersebut tidak belajar bertanggung jawab. Dan, orangtua juga terus-menerus menerima tuntutan dari anak yang marah yang tidak mau diperintah. Jadi, meskipun tindakan tersebut berhasil dalam jangka pendek, untuk jangka panjang dampaknya justru tidak baik.

3. Tidak ada respons.
Orangtua juga mengajari anak-anak dengan cara mengabaikan sikap anak-anak. Sikap-sikap yang tidak direspons pada akhirnya cenderung tidak diulangi. Dengan kata lain, mengabaikan perilaku tertentu bisa jadi mengurangi perilaku tersebut—khususnya jika perilaku-perilaku tersebut hanya bersifat mengganggu. Sikap suka merengek, misalnya. Jika orangtua bisa mengabai kan rengekan dan mengatakan "Jika kamu meminta Ibu seperti anak umur 5 tahun, Ibu akan menjawab," dan kemudian diam hingga anak mulai bersikap seperti anak berumur 5 tahun, rengekan cenderung menurun. Menyembunyikan respons tidak boleh dilakukan jika sikap yang ditunjukkan anak sudah sangat mengganggu, seperti berteriak-teriak dan memukul.

4. Hukuman.
Akhirnya, orangtua memberikan pelajaran kepada anak-anak melalui hukuman atau secara aktif memberikan respons negatif terhadap suatu sikap. Meskipun hukuman bisa menjadi sarana pembelajaran yang efektif, dibandingkan dengan metode-metode yang lebih positif, hukuman tidak banyak membantu, khususnya jika dilakukan terlalu sering. Bahkan, jika hukuman diterapkan terlalu keras dan terlalu sering, tindakan tersebut malah bisa menyebabkan sikap negatif semakin menjadi -jadi karena reaksi emosional dari si anak terhadap hukuman itu sendiri. Hal ini sering kali terjadi dengan anak-anak yang sangat bersemangat dan memiliki kemauan yang keras. Orangtua yang sering berteriak dan memukul anak-anaknya bisa mendapati bahwa anak-anak tersebut tidak menyesal, tetapi malah menentang. Meskipun sebagian orangtua kemudian mengurangi cara-cara seperti itu setelah anak mereka malah menentang, sebagian lagi bahkan menjadi tambah keras dan mulailah terbentuk lingkaran setan.
Menggunakan hukuman yang relatif ringan seca-
ra konsisten, seperti menghilangkan hak istimewa atau melarang kegiatan yang sedang dilakukan, bisa jadi cukup efektif dalam menghadapi sikap yang sulit dikendalikan. Namun, bahkan hukuman ringan tidak boleh mengalahkan penggunaan pendekatan pengajaran yang lebih positif.

0 komentar: